News/Artikel

Sowan Tradisi Santri

PONDOK PESANTREN MABADI'UL IHSAN - Sowan adalah tradisi santri berkunjung kepada kyai dengan harapan mendapatkan petunjuk atas sebuah permasalahan yang diajukannya, atau mengharapkan doa dari kyai atau sekedar bertatap muka silaturrhim saja. Seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW bahwa bersilaturrahim dapat menjadikan umur dan rezeki bertambah panjang. Sowan dapat dilakukan oleh santri secara individu atau bersama-sama.

Bisanya seorang Kyai akan menerima para tamu dengan lapang dada.Bagi wali santri yang hendak menitipkan anaknya di pesantren, sowan kepada kiai sangat penting. Karena dalam kesempatan ini ia akan memasrahkan anaknya untuk dididik di pesantren oleh sang kiai . Begitu pula dengan calon santri, inilah kali pertama ia melihat wajah kiainya yang akan menjadi panutan sepanjang hidupnya.

Kiblat, Wirid, Ziarah, Ensiklopedia NU, Maulid, Khutbah, Doa, dan lain-lain. tradisi “Sowan Kyai” merupakan sebuah keutamaan yang harus dilestarikan secara turun temurun. Tradisi ini secara tidak langsung merupakan pendidikan dalam arti sesungguhnya.

Bahwa tawadu’ -andap asor- merupakan sebuah keniscayaan bagi para penuntut ilmu. Karena bencana terbesar bagi seorang penuntut ilmu, dan bagi siapapun; adalah kesombongan. Selain meletakkan kepala di tempat yang lebih rendah dari pantat dan sejajar dengan telapak kaki, menundukkan kepala di hadapan Ulama merupakan sebuah usaha penyadaran. 

Kedua, bahwa reaksi modernitas telah mengabrasi nilai-nilai spiritualitas. Sekarang memang zamannya Mark Zuckerberg, tapi ideologi materialisme Karl Marx ternyata tidak bisa dibilang usang. Buktinya, Indonesia yang sudah -bisa dibilang- mapan dengan Pancasila-isme nya, justru mulai dikoordinasikan, digerakkan, dimanipulasi oleh hegemoni materialisme.

Baik Sosialisme ataupun Komunisme, keduanya merupakan dzuriyah Materialisme. Artinya, kedua isme ini, sama-sama korosif terhadap spiritualitas. Dan menegasikan spiritualitas merupakan usaha meniadakan Tuhan dalam kehidupan sosial. Padahal, materialisme, -dengan dayanya yang terbatas- tidak akan mampu menjangkau titik-titik tertentu dalam kehidupan.

Ketika kemampuan materialitas itu mencapai titik klimaks, dan tidak mampu mengatasi titik tersebut dengan dayanya sendiri -yang terbatas-, maka di saat itulah Tuhan “dipanggil”, dan dilibatkan untuk mengintervensi kehidupan. Tuhan, kemudian dihadirkan (walaupun kenyataannya Tuhan selalu hadir) dalam momen-momen genting dan kritis, dan dilibatkan dalam gerak nadi kehidupan, justru ketika materialitas kehidupan tidak lagi mampu mengatasi persoalan dirinya sendiri.

Hal ini menjadikan bahwa hubungan kiai santri tidak pernah mengenal kata putus. Kiai tetap menjadi guru dan santri tetap menjadi murid.